Pagi ini saya tidak sengaja membuka sebuah file yang seharusnya saya
publikasikan di blog.kenz.or.id pada tahun 2007. Entah kesibukan apa
sehingga saya lupa mempublikasikannya, atau mungkin karena belum
mendapatkan ijin dari semua pihak yang akan dipublikasikan sehingga saya
harus menunggu beberapa waktu. File ini berisi pemetaan penunggu
(mahkluk halus) Gunung Sumbing yang didata dalam pendakian saya yang ke
empat di gunung tersebut pada tahun 2007.
Pendakian saya lakukan pada tanggal 25-26 Agustus 2007 bersama dua orang teman saya yaitu Qika dan Tetet. Qika merupakan bintang tamu dalam pendakian ini, karena baru pertama kalinya mendaki gunung, sedangkan Tetet sudah pernah menaklukan Gunung Gede Pangrango. Pemetaan ini merupakan kolaborasi hasil diskusi antara saya yang senang menikmati atmosfer mistis gunung dan Qika yang memiliki kepekaan indera penglihatan dalam pendakian di saat bulan purnama (penuh).
Berikut ini adalah hasil pemetaan yang kami lakukan :
Km I – Km II (Km = Kilometer)
Saya sudah merasakan atmosfer mistis itu ketika melakukan pemanasan. Saya melihat Qika mulai ketakutan dan dari sana saya menjadi tahu bahwa penglihatannya mulai terbuka kembali. Kami bertiga berdoa bersama sebelum memulai perjalanan ini.
Perjalanan menuju KM II kami mulai, dan saat itulah saya merasakan getaran terus menerus di belakang kepala saya. Getaran khas ini biasanya menjadi pertanda buat saya bahwa ada kekuatan lain yang sedang berusaha masuk untuk melakukan interkoneksi dengan diri saya.
Perjalanan Km I dan Km II melewati sebuah jembatan, di jembatan ini banyak sekali mahkluk berjejer dengan segala bentuk, termasuk juga sesosok raksasa besar berwarna hitam yang dipercaya oleh Qika sebagai penunggu utama gunung ini.
Sepanjang perjalanan menuju Km II, kami melewati lahan perkebunan penduduk yang ditanami tembakau. Raksasa hitam terus mengikuti kami, sedangkan di sepanjang perjalanan Qika melihat pocong di beberapa tempat.
Perjalanan memasuki kilometer kedua yang didominasi oleh lahan penduduk dan juga hutan belukar yang menyatu dengan pepohonan pinus. Ketika memasuki hutan belukar, saya mulai mencium bau rokok kemenyan yang sering dihisap oleh simbah-simbah jawa. Ternyata sepanjang perjalanan ini, banyak sekali mahkluk yang mirip dengan orang-orang tua yang sedang duduk menghisap rokok menyan. Beberapa kali, saya mengucapkan permisi pada mahkluk itu sebagai hormat saya pada orang yang sudah tua itu.
Selain simbah-simbah, saya juga melihat banyak cahaya gemerlap yang tampak sekelebat mata kesana dan kemari. Awalnya saya tidak tahu mahkluk apa ini, namun Qika memberitahu saya bahwa itu adalah peri-peri gunung. Hehe, saya sepertinya sudah pernah melihat bentuk peri gunung yang cantik tapi dalam pengalaman yang lain.
Beberapa kali Qika sangat terkejut dengan penampakan yang mengerikan misalnya mahkluk tengkorak dengan kepala yang aneh, dan bentuk-bentuk yang mengerikan lainnya. Saya agak beruntung karena penglihatan saya terbatas sehingga tidak melihat hal-hal yang mengerikan itu.
Namun di lain kesempatan, saya dan Qika melihat kumpulan orang berjubah putih sedang berkumpul di depan jalan yang kami akan lalui. Mereka seperti melingkar dan mendiskusikan sesuatu dengan posisi berdiri. Jubah mereka putih dan berkerudung selayaknya biarawan, lalu ketika kami mulai mendekati lokasi mereka menghilang. Sampai pos II raksasa besar masih mengikuti kami.
Km IV – Pasar Watu
Kilometer keempat menuju Km V medan semakin sulit dan terjal, karena kami harus mengikuti jalan air yang berpasir sehingga jika lengah akan terpeleset. GPS Garmin 76Cx saya kacau karena suatu energi aneh yang membuatnya berputar-putar tidak karuan, ini terjadi mulai dari Pos II.
Semakin tinggi bentuk mahkluk halus semakin menyerupai manusia. Pada kilometer ini, Qika bertemu dengan orang tua bersorban putih dan berjanggut putih seperti pertapa. Dia memperhatikan kami dan berjalan bersama kami, kemudian menghilang.
Sampai Km V, waktu sudah menjelang subuh, dan sepertinya kami terlambat karena beberapa kendala fisik yang dialami oleh kami. Saya dan Qika melanjutkan perjalanan berusaha menuju puncak, sedangkan Tetet memilih untuk ‘ngecamp’ di kilometer V.
Pasar Watu – Tanah Putih
Di pasar Watu, sesosok wanita berambut panjang menampakan diri. Ada yang menyapa, namun ada yang acuh tak acuh. Menurut Qika mereka adalah sundel bolong. Begitu pula di Watu kotak, ada beberapa wanita dan ibu-ibu bersanggul dan juga orang tua berjubah putih.
Jam menunjukkan pukul 11, kami baru sampai di tanah putih. Setelah mengambil dokumentasi, kami memutuskan untuk turun gunung. Perjalanan turun gunung cukup lambat, karena medan berpasir yang membuat kami sering terpeleset. Akhirnya kami kemalaman lagi, dan akhirnya kami bertemu dengan semua mahkluk itu lagi.. dan lagi.
Menurut Qika, kebanyakan di antara mereka, menawarkan bantuan untuk memberikan kekuatannya pada kita. Mereka menjanjikan akan menjadi pengikut yang setia dan bisa mendatangkan kekayaan. Namun saya sendiri, enggan untuk bekerja sama dengan mereka, karena mereka biasanya meminta tumbal.
Perjalanan pulang menuju basecamp, penampakannya masih sama seperti yang dipetakan. Hanya saja sepanjang perjalanan ini saya banyak mendengar suara, yang mungkin hanya didengar oleh saya sendiri. Suara jeritan, suara-suara memanggil-manggil nama kami.
Sesosok mahkluk yang masih agak muda mengikuti saya, dia ingin bersama saya. Tetapi saya biarkan saja, dia baru menghilang setelah kami mendekati jalan raya.
Pengalaman pendakian di Gunung Sumbing saat bulan purnama ini merupakan suatu pengalaman mistis yang paling mendebarkan buat saya, karena sepanjang perjalanan getaran-getaran itu terus saja ada sampai saya turun gunung. Berbeda dengan pendakian saya di tempat lain, biasanya getaran-getaran atmosfer mistis hanya muncul di tempat-tempat tertentu.
Semoga pemetaan ini berguna bagi teman-teman pendaki, khususnya untuk cek silang tentang keberadaan mahkluk halus ini. Harapan saya dengan publikasi ini adalah saling menjaga harmonisasi alam, yaitu alam manusia dengan alam lainnya.
Ketika kita memasuki teritori yang mungkin bukan tempat tinggal kita, ada baiknya kita tetap menjaga sopan santun dan tidak semena-mena terhadap alam karena mereka juga adalah bagian dari alam itu sendiri.
Salam Pendaki! Salam Lestari Alamku!
Hentikan vandalisme di gunung, bawalah sampah kembali ke rumah, dan pastikan mematikan api unggun selalu.
0 komentar:
Posting Komentar